Tidak dapat dipungkiri bahwa keadilan merupakan konsep yang sering
dielu-elukan dalam masyarakat Indonesia. Banyak isu sosial-politik di Indonesia
yang dikaitkan dengan isu keadilan. Ada yang mendefinisikan “keadilan” sebagai
tindakan atau perlakuan yang sama. Tetapi, ada pula yang memaknai “keadilan”
sebagai hal yang mustahil terutama bagi kalangan rakyat tanpa privilege.
Konsep
“keadilan” pertama kali dikemukakan oleh filosofis Yunani bernama Plato
(427-347 SM). Menurutnya, keadilan adalah saat individu dapat membatasi dirinya
sendiri dan disesuaikan dengan kemampuannya. Plato juga menjelaskan bahwa untuk
mewujudkan keadilan terdapat tiga syarat penting, yakni pertama, mengembalikan masyarakat ke struktur aslinya. Artinya
yaitu mengembalikan masyarakat sesuai dengan kewajiban suatu pekerjaan yang ia
laksanakan. Kedua, pengawasan
terhadap fungsi struktur masyarakat oleh negara. Maksudnya bahwa keadilan juga
merupakan hubungan antara individu dan negara, sehingga negara bertugas
menciptakan stabilitas supaya tidak terjadi penyimpangan dalam masyarakat. Ketiga, pemimpin berasal dari putra
terbaik bangsa, bahwa pemimpin “the king
of philosopher” ditentukan melalui mekanisme konsensus, bukan melalui voting.
Namun,
apakah tiga komponen ini masih relevan hingga saat ini?
Dalam
masyarakat Indonesia, keadilan adalah hal yang multitafsir. Pada kalangan
masyarakat atas, keadilan adalah kemampuan dalam bersaing. Perlu diketahui,
bertahan hidup tentu memerlukan kemampuan dan skill yang dibutuhkan dalam masyarakat. Namun, pada masyarakat
kecil, keadilan adalah kewajiban, dimana negara wajib untuk memberikan keadilan
dan perlakuan yang sama bagi seluruh warganegara. Tetapi, bagaimana bisa
individu yang bekerja keras dan memperoleh gaji yang besar harus disandingkan
dengan individu yang kurang memiliki kemampuan dan bergaji kecil dalam
memperoleh keadilan?
Ditinjau
dari tiga poin indikator milik Plato dalam mewujudkan keadilan, Indonesia tentu
sulit untuk melaksanakan poin pertama, yakni merestrukturisasi pekerjaan sesuai
dengan yang diwajibkan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya penghargaan pada
pekerjaan-pekerjaan mulia dan tingginya penghargaan terhadap
pekerjaan-pekerjaan berbasis perkantoran. Tentu menjadi hal yang sulit jika
seorang guru hanya menjalankan profesi dengan mengajar saja, karena sedikitnya
gaji yang diterima oleh profesi guru di Indonesia. Pekerjaan-pekerjaan yang
kurang dihargai ini menuntut individunya untuk memperoleh pekerjaan tambahan
lain, demi menunjang kebutuhan sehari-hari.
Keterkaitan
dengan poin kedua, walaupun berwujud demokrasi, dimana hasil dari ideologi
politik liberal, Pemerintah Indonesia tetap memberikan intervensi yang
cenderung besar dalam kehidupan masyarakatnya. Hal ini terlihat dari banyaknya
aturan-aturan hukum yang sangat rinci dalam mengatur kehidupan warganegara.
Selain itu, pengawasan oleh negara diperlukan agar individu yang satu tidak
menggangu hak individu yang lain. Pada poin ketiga, jika menurut Plato, keadilan
akan tercapai apabila pemimpin dipilih menurut konsensus, di Indonesia, tradisi
pemilihan pemimpin secara langsung telah dilakukan sejak tahun 2004. Dalam
negara yang multikultur dan demokrasi, pemilihan melalui voting secara langsung tentu menjadi jalan keluar yang paling
efektif untuk memilih pemimpin. Hal ini terlihat dari tingkat partisipasi
pemilu yang semakin meningkat, dari 70 persen pada Pemilu 2014 menjadi 80,90
persen pada Pemilu 2019.
Ketiga
indikator keadilan milik Plato belum dapat disesuaikan dengan keadaan
masyarakat Indonesia, terlihat dari poin-poin yang sudah penulis jabarkan pada
paragraph-paragraf sebelumnya. Maka dari itu, perlu adanya indikator baru yang
lebih relevan dan diperbaharui dengan kondisi saat ini.
Penulis
tertarik untuk membahas keadilan dengan indikator milik Michael Sandels.
Michael Sandel, dalam kuliah umum yang disampaikan di Harvard University,
menyampaikan mengenai apakah kebaikan bersama dapat dicapai, pada satu sisi
hak-hak individu terpenuhi dan dihormati, dan sisi lain adanya keadilan bagi
semua orang. Salah satu perdebatan yang menarik yaitu mengenai redistribusi
pajak dari orang-orang kaya kepada orang-orang miskin. Dalam perspektif
liberal, sebagaimana yang diyakini oleh Robert Nozick, redistribusi pajak
merupakan sebuah bentuk pencurian oleh negara. Nozick menambahkan bahwa hal
tersebut adalah bagian dari ketidakadilan, dimana pengambil pajak dari
seseorang berarti secara tidak langsung negara juga telah mengambil waktu
bekerja dan pendapatan seseorang. Namun, tentu saja, pernyataan-pernyataan
diatas menimbulkan pro dan kontra. Salah satu pernyataan kontranya adalah pajak
bukan bentuk perbudakan, tetapi keputusan adanya pajak tentu mengalami
konsensus sebelumnya. Pajak bukanlah bentuk paksaan, tetapi sebagai warganegara
yang dilindungi baik dalam bentuk administratif maupun keamanan, seorang
warganegara perlu untuk membayar hal tersebut dalam bentuk pajak. Sehingga,
tidak semua orang memiliki kesempatan dan keberuntungan dalam hidupnya. Sandel
juga mengutip pernyataan John Rawls tentang ketidakadilan. Menurut Rawls, ketidakadilan
adalah hal yang tidak perlu dipermasalahkan, yang terpenting adanya
keuntungannya mengalir sampai ke bawah. Konsep ini disebut Rawls sebagai Justice as fairness. Namun, keadilan dalam
masyarakat belum dapat dilaksanakan karena setiap individunya memiliki privilege dan bakatnya sendiri, yang
memungkinkan kesempatan yang dimiliki setiap individu berbeda.
Berbagai
macam perspektif mewarnai makna keadilan yang masing-masing menimbulkan
pro-kontranya sendiri. Pembaharuan terhadap makna keadilan dilakukan untuk
merelevankan dengan kondisi masyarakat saat ini. Ketidaksejahteraan,
ketimpangan, ketidaksetaraan telah terjadi sejak lama kepada orang-orang yang
lemah, tidak berdaya, dan miskin. Hak untuk memperkaya diri dan keluarga dengan
menggunakan usaha dan kerja keras sendiri tentu menjadi tabungan untuk
mensejahterakan diri. Namun, apakah ego diri sendiri tetap bertahan ditengah
kehidupan masyarakat, bahkan jika ditengah masyarakat yang miskin dan lemah?
Lalu apakah keadilan masih ada dan masih dapat dicapai?
Daftar Pustaka
Editor Kompas TV. Litbang Kompas: Meningkat dari 2014, Tingkat
Partisipasi Pemilu 2019 Sebesar 80,90%. https://www.kompas.tv/article/45563/litbang-kompas-meningkat-dari-2014-tingkat-partisipasi-pemilu-2019-sebesar-80-90,
diakses pada 16 Juni 2019 pukul 13.29 WIB.
Harvard University.
2009. Michael Sandel on Justice: What’s The Right Thing To Do? Episode 03 :
“Free to Choose”(Berkas Video).https://www.youtube.com/watch?v=Qw4l1w0rkjs.
Diakses pada 16 Juni 2019 pukul 13.45 WIB.
Komentar
Posting Komentar